PENDAHULUAN
Latar Belakang
Karya sastra adalah karya yang dibuat oleh pengarang atau sastrawan. Tujuannya adalah memberi kesan dan menghibur kepada pembacanya. Sebuah karya sastra tidak akan terlepas dari fiksionalitasnya yang menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan lingkungan dan sesama interaksinya dengan diri sendiri, serta interaksinya dengan Tuhan. Selain itu, karya sastra juga memiliki tujuan estetik, sebuah karya haruslah tetap merupakan cerita yang menarik, memiliki bangunan struktur yang koheren dan bernilai estetis.[1]Karya sastra merupakan paduan antar unsur memetik dan kreasi, peniruan dan kreativitas, khayalan dan relitas. Pengarang atau sastrawan, dalam membuat karya sastra dipengaruhi oleh beberapa faktor. Beberapa faktor tersebut diantaranya dalah pengalaman pengarang seperti yang telah disebutkan di atas. Kemudian realitas yang ada dan hidup di sekitar pengarang menjadi stimulus yang sangat besar dan memungkinkan seorang pengarang membuat karya sastra. Plato juga mengungkapkan bahwa sastra dan seni hanya peniruan atau pencerminan dari kenyataan, maka ia berada di bawah kenyataan itu sendiri. Berbeda dengan apa yang diungkapkan oleh Aristoteles bahwa dalam proses penciptaan, sastrawan tidak semata-mata meniru kenyataan, tetapi juga menciptakan dunia baru dengan kekuatan kreatifitasnya.
Burhan Nurgiantoro, 2005, membedakan karya fiksi antara novel dan cerpen dilihat dari segi formalitas bentuk dan panjang cerita. Meskipun begitu, antara novel dan cerpen memiliki persamaan. Keduanya dibangun oleh unsur-unsur cerita yang sama dan keduanya dibangun dari dua unsur intrinsik dan ekstrinsik. Keduanya memiliki unsur peristiwa, plot, tema, tokoh, latar, sudut pandang, dan lain-lain. Dalam hal ini, penulisan akan dibatasi sampai pada pemaparan tentang cerpen.
Seperti novel, cerpen memiliki unsur dalam (intrinsik) dan unsur luar (ekstrinsik). Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra. Adapun unsur-unsur tersebut adalah peristiwa, cerita, plot, penokohan, tema, latar, sudut pandang penceritaan, gaya bahasa, dan lain-lain. Sedangkan unsur ekstrinsik adalah sesuatu yang berada di luar karya sastra, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra.[2] Unsur ini mempengaruhi sebuah karya sastra, tapi tidak ada didalamnya. Setiap sastrawan memiliki kemampuan berbeda-beda dengan yang lainnya. Faktor kreativitas menjadi sesuatu yang pertama dalam mempengaruhi sebuah karya sastra. Selain itu, keadaan seorang sastrawan dalam hal ini subjektivitas individu yang memiliki pandangan hidup dan keyakinan. Unsur ekstrinsik selanjutnya adalah psikologi pengarang, psikologi pembaca, dan psikologi dalam karya. Faktor ekonomi, politik, dan sosial mempengaruhi ketiga psikologi dalam hubungannya dengan karya sastra. Selain itu, pandangan hidup suatu bangsa juga mempengaruhi proses penciptaan sang pengarang. Tak bisa dilupakan perbandingan antar karya sastra yang lain pun tak pelak menjadi pengaruh dalam sebuah karya sastra.
Karya sastra tidak akan terlepas dari agama, karena bagaimana pun seorang pengarang akan menyampaikan pesan dalam karyanya sesuai dengan apa yang diyakininya. Seperti yang telah dikemukakan di atas, bahwa pengalaman seorang pengarang dengan Tuhan melahirkan gagasan baru yang berbentuk karya. Pengalaman ini menjadi unsur ekstrinsik karya sastra, sedangkan dalam unsur intrinsiknya, tokoh dalam karya sastra juga memiliki pengalaman-pengalaman termasuk pengalaman dengan Tuhan.
Dalam cerpen Arinillah karya Taufik Hakim, – seorang sastrawan Mesir – terdapat tokoh seorang anak yang menginginkan agar ayahnya memperlihatkan Allah padanya. Dengan bahasa yang bijak ia berkata pada ayahnya, “Wahai Ayah, engkau sering beribicara banyak tentang Allah. Perilhatkanlah kepadaku!” Perkataan merupakan bahasa seseorang yang sudah memiliki kecerdasan yang tinggi disertai dengan respon yang kuat pada stimulus yang merangsangnya. Dalam kajian psikologi ini sedikit sekali terjadi, karena seorang anak pada masanya tidak akan berkata seperti itu. Dalam pikirannya hanya bermain dan menyenangkan diri. Seorang ayah mencari Tuhan untuk diperlihatkan kepada anaknya seolah tak ada jawaban yang lebih bijak ketika anak itu meminta diperlihatikan Tuhan kepadanya. Oleh karena itu, tulisan ini dibatasi dengan meneliti psikologi dalam karya sastra.
Setiap pengarang memiliki kebebasan untuk menggunakan tokoh sekehendaknya. Yang menjadi hal penting adalah bahwa sebagai karya naratif, karya sastra menceritakan seorang tokoh atau lebih yang memiliki watak, karakter, dan kepribadian yang berbeda-beda. Semuanya berhubungan dengan aspek psikologi dalam karya sastra yang akan dipaparkan selanjutnya.
Rumusan Masalah
Meskipun karya sastra merupakan peniruan dari realita kehidupan, akan tetapi dalam sebuah karya sastra sesuatu hal yang tidak mungkin dapat terjadi dan hal yang sangat mungkin tidak terjadi. Tokoh dalam cerpen ini mungkin pernah dijumpai – oleh pengarang atau pembaca – meskipun jumlah kemungkinan kebenarannya sangat sedikit. Inilah yang menjadi permasalah yang menarik untuk dicarikan pemecahannya sekaligus sebagai topik pembahasan dalam penelitian ini. Adapun permasalahan tersebut antara lain:- Bagaimana psikologi tokoh dalam cerpen Arinillah karya Taufik Hakim?
- Adakah loncatan psikologi tokoh dalam karya sastra tersebut?
- Bagaimana kemungkinan adanya loncatan psikologi?
Tujuan Penelitian
Dengan berpijak pada teori yang digunakan dalam penelitian, metode dan pendekatan yang digunakan, maka penelitian ini bertujuan untuk:- Menjelaskan perkembangan psikologi manusia sesuai dengan umurnya.
- Menjelaskan fakta-fakta yang penting tentang perkembangan manusia.
- Menelesurui watak dan karakter tokoh-tokoh cerpen Arinillah sesuai dengan kajian psikologi.
- Efek yang ditimbulkan dalam penokohan cerpen Arinillah terhadap pembaca yang berada diluar karya sastra.
Manfaat Penelitian
Psikologi sastra memberikan perhatian pada masalah yang berkaitan dengan unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional yang terkandung dalam karya.[3] Terlepas dari itu, karya sastra memiliki aspek-aspek kejiwaan yang sangat tinggi. Melaluai pemahaman terhadap tokoh dalam karya sastra, masyarakat dapat memahami perubahan, kontradiksi, dan penyimpangan lain dalam masyarakat. Analisis psikologi sastra sangatlah minim salah satunya karena teori-teori psikologi sangat terbatas dan kurangnya minat terhadap analisis psikologi sastra. Oleh karena itu penelitian memiliki beberapa manfaat, diantaranya:- Memahami aspek-aspek kejiwaan dalam sebuah karya sastra.
- Teori-teori psikologi diterapkan dengan cara analisis terhadap karya sastra.
- Memetakan hubungan antara psikologi dan karya sastra.
- Memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang psikologi sastra.
Kerangka Berfikir
Konsep yang menjadi dasar penelitian ini adalah bagaimana hubungan antara psikologi dan sastra. Ada tiga cara yang dapat dilakukan untuk memahami hubungan antara psikologi dengan sastra. Pertama, memahami unsur kejiwaan pengarang sebagai penulis. Kedua, memahami unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional dalam karya sastra. Ketiga, memahami unsur-unsur kejiwaan pembaca.[4]Analisis psikologi dalam karya sastra lebih dikenal dengan istilah psikoanalisis sastra. Psikoanalisis dalam karya sastra memuat beberapa kemungkinan pengertian. Pertama, psikologi pengarang sebagai pribadi atau individu. Kedua, proses kreatif. Ketiga, tipe dan hukum psikologi yang diterapkan dalam karya sastra. Keempat, dampak karya sastra terhadap psikologi pembaca. Namun, yang diterapkan dalam psikoanalisis sastra adalah yang ketiga. Nyoman Kutha Ratna, 2007. mengatakan bahwa psikologi sastra seharusnya memberikan prioritas pada sastra bukan pada psikologi.
Munculnya analisis psikologi dalam sastra disebabkan oleh meluasnya sastra dengan ajaran Freud. Sejak zaman Yunani Kuno, kecerdasan pengarang atau sastrawan selalu menjadi bahan gunjingan. Mereka dianggap gila dari tingkat neurotik dan psikosis. Penyair dianggap kesurupan ketika membuat sebuah karya sastra, artinya sastrawan membuat karya sastra dibawah tingkat kesadaran.
Psikoanalisis mengklasifikasikan pengarang berdasarkan psikologi dan tipe fisiologisnya, menganalisis secara psikologis tokoh-tokoh yang ada dalam karya sastra, dan menganalisis jiwa pengarang lewat karya sastranya. Psikoanalisis tidak bermaksud memcahkan masalah-masalah psikologi praktis, tetapi memahami aspek kejiwaan yang terkandung dalam suatu karya. Psikoanalsis didominasi oleh teori psikologi Sigmun Freud (1856-1939). Freud membedakan kepribadian menjadi tiga macam, yaitu; Id, Ego, dan Super Ego. Ketiganya berkaitan erat sehingga menjadi sebuah unit dan totalitas. Perilaku manusia sering diinterpretasikan sebagai refleksi dari produk ketiga unsur di atas.
Id (das es) adalah sistem kepribadian manusia yang paling dasar. Id merupakan acuan penting yang digunakan untuk memahami sastrawan/ seniman dalam proses penciptaan karya sastra. Melalui id pula, sastrawan bisa menciptakan simbol-simbol tertentu dalam karyanya. Jadi, unsur psikologis dalam karya sastra lebih memperhatikan interpretasi psikologis yang sebelumnya telah menerima perkembangan watak untuk kepentingan struktur plot. Sering pula id disebut sebagaiu kepribadian yang gelap dalam bawah sadar manusia yang berisi insting dan nafsu-nafsu yang tidak mengenal nilai dan lebih bersifat liar.
Dalam perkembangannya, manusia juga memiliki ego (das ich) yang lebih memandang realita dalam kehidupan. Ego adalah sistem kepribadian yang bertindak sebagai pengaruh individu kepada dunia objek dari kenyataan, dan menjalankan fungsinya berdasarkan prinsip kenyataan. Selain itu, ego juga bersifat implementatif, karena sering bersinggungan dengan dunia luar.
Super ego (das ueber ich) berkembang dan berfungsi sebagai pengontrol dorongan-dorongan yang dikembangkan id. Super ego adalah sistem kepribadian yang berisi nilai-nilai atau aturan yang bersifat evaluatif (mempertimbangkan aspek baik, buruk).
Milner dalam Endraswara (2003: 101-102) menyatakan bahwa hubungan antara sastra dan psikologis dibagi menjadi dua. Pertama, adanya kesamaan antara hasrat-hasrat yang tersembunyi pada setiap manusia yang menyebabkan kehadiran karya sastra yang mampu menyentuh perasaan pembaca, adanya kesejajaran antara mimpi dan sastra dalam hal elaborasi sastra dengan elaborasi mimpi. Freud menyebut ini sebagai "pekerjaan mimpi" dikarenakan anggapan bahwa mimpi tidak ubahnya sebuah tulisan (bersifat arbitrer), keadaan orang yang bermimpi mirip dengan sastrawan yang menyembunyikan pikiran-pikirannya.
Proses kreativitas penulis dalam mencipta suatu karya sangat dipengaruhi oleh sistem sensor intern yang mendorongnya untuk menyembunyikan atau memutarbalikkan hal-hal penting yang ingin disampaikan. Selain itu, pengarang juga bisa mengatakan dalam bentuk langsung atau ubahan. Jadi karya sastra adalah ungkapan jiwa pengarang yang menggambarkan emosi dan pemikirannya. Karya sastra lahir dari endapan pengalaman yang telah dimasak dalam diri pengarang.
Freud juga menghubungkan karya sastra dengan mimpi. Sastra dan mimpi memberikan kepuasan secara tak langsung. Perbedaannya, karya sastra terdiri atas bahasa yang bersifat linear sedangkan mimpi terdiri atas tanda-tanda figuratif yang tumpang tindih, campur aduk.
Tingkah laku tokoh-tokoh dapat dipahami hanya dalam arti keseluruhan kelompok di mana ia menjadi anggota. Individu memperoleh makna melalui orang lain yang ada di sekitarnya. Teori lain yang berhubungan adalah bahwa manusia terdiri atas dua lapis ketaksadaran, yaitu ketaksadaran personal dan ketaksadaran kolektif. Ketaksadaran personal diterima melalui pengalaman kehidupan sekarang, sedangkan ketaksadaran kolektif diterima secara universal dan esensial melalui spesies.
Psikologi sastra adalah model penelitian interdisiplin dengan menetapkan karya sastra sebagai memiliki posisi yang lebih dominan. Sebagai bagian studi multikultural, analisis psikologi sastra dibangun atas dasar kekayaan sekaligus perbedaan khazanah kultural bangsa. Psikologi sastra tidak ditujukan untuk membuktikan keabsahan teori psikologi.[5] Psikologi sastra adalah analisis teks dengan mempertimbangkan relevansi dan peran studi psikologis. Karena kemungkinan, tokoh dan wataknya bertentangan dengan teori psikologis.
Analisis psikologi dalam karya sastra termasuk kajian metode struktural. Menurut kaum strukturalisme, sebuah karya sastra adalah sebuah totalitas yang dibangun secara koherensif oleh berbagai unsurnya. Analisis karya dengan metode struktural dapat dilakukang dengan mengidentifikasi, mengkaji dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antar unsur intrinsik karya sastra termasuk di dalamnya tokoh dan penokohan.[6] Tokoh dalam karya fiksi adalah siapa yang ada dalam cerita tersebut. Penokohan menunjuk sifat, sikap, watak, dan karakter pada tokoh tertentu. Karakter atau perwatakan pada tokoh adalah utility yang utuh.
Abrams (1981:20) yang dikutip oleh Nurgiantoro mengatakan bahwa tokoh cerita (character) adalah orang yang ditampilkan dalam suatu karya yang ditafsirkan oleh pembaca memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu yang diekspresikan lewat ucapan dan tindakan. Dalam pandangan teori resepsi sastra, pembaca menentukan penilaian terhadap karya sastra. Istilah penokohan memiliki arti yang lebih luas daripada tokoh sebab mencakup siapa tokoh cerita, bagiamana perwatakan, dan bagaimana penempatan pelukisan dalam sebuah cerita. Kehidupan tokoh dalam karya adalah kehidupan karya itu juga. Pengarang, dengan kreativitasnya menempatkan tokoh bagaiman pun tokoh tersebut dari status sosial, watak, dan permasalah yang dihadapinya.
Tokoh cerita menempati posisi strategis sebagai pembawa dan penyampai pesan, amanat, moral atau informasi lain yang ingin disampaikan pengarang.[7] Tokoh hanya dijadikan boneka yang dipaksa menyampaikan pesan. Terkadang pembaca tidak dapat menebak kehidupan tokoh dalam karya fiksi karena terlalu mengharapkan tokoh dalam cerita harus seperti dalam kehidupan nyata. Tokoh ‘anak’ yang tidak disebutkan namanya dalam cerpen Arinillah memiliki watak dan kehidupan yang berbeda dengan kehidupan nyata. Meskipun bisa saja terjadi, namun seorang anak yang belum cukup dewasa terasa mustahil ingin tahu tentang adanya Tuhan, bahkan ia meminta ayahnya untuk memperlihatkan Tuhan padanya.
Telah diuraikan sebelumnya bahwa karya sastra merupakan memetik dari kehidupan nyata. Hubungan antara tokoh fiksi dan realitas kehidupan manusia tidak hanya berupa hubungan kesamaan saja, melainkan juga perbedaan. Tokoh dalam karya sastra adalah tokoh rekaan yang tak pernah ada di dunia nyata. Namun, ada pula tokoh yang nyata dalam karya sastra seprti tokoh-tokoh sejarah.
Tokoh atau penokohan memiliki hubungan dengan unsur fiksi yang lain. Hubungan penokohan dengan plot merupakan dua fakta yang saling mempengaruhi. Plot adalah apa yang dilakukan oleh tokoh, dimana tokoh menjadi pelakunya. Hubungannya dengan tema adalah bawa tokoh sebagai penyampai tema. Selain itu, relevansi tokoh dinilai oleh pembaca adalah tokoh yang bersifat lifelikeness (kesepertihidupan). Pembaca merasakan reaksi emotif dari tokoh yang mereka baca. Pembaca juga menganggap tokoh dalam cerita relevan jika tokoh tersebut persis atau sama dengan tokoh yang ada dalam kehidupan nyata.
Tinjauan Pustaka
Penelitian terhadap cerpen Arinillah karya Taufik Hakim telah banyak dilakukan. Di lingkungan kampus UIN Sunan Gunung Djati Bandung, khususnya di Fakultas Adab dan Humaniora, penelitian berbentuk skripsi. Adapun objek yang dikaji di dalamnya adalah tentang unsur-unsur intrinsik cerpen Arinillah. Namun belum ada penelitian dengan menggunakan pendekatan psikologi dalam metode formal atau struktural. Penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah analisis psikologi tokoh dalam cerpen tersebut.Metode dan Langkah-langkah Penelitian
1. Metode PenelitianPenelitian ini menggunakan metode formal yang melakukan analisis dengan mempertimbangkan aspek-aspek formal, aspek-aspek bentuk, yaitu unsur karya sastra. Tujuan metode formal adalah studi ilmiah mengenai sastra dengan memperhatikan sifat teks yang dianggap artistik.[8] Metode formal adalah cara-cara penyajian dengan memanfaatkan tanda dan lambang, yang dipertentangkan dengan metode informal, yaitu cara penyajian melalui kata-kata biasa.
Metode formal tidak bisa dilepaskan dari teori-teori strukturalisme. Ciri utama metode ini adalah analsis terhadap unsur-unsur karya sastra, kemudian hubungan antara unsur-unsur tersebut dengan totalitasnya. Metode ini dinamakan pula sebagai metode struktural. Unsur yang dianalisis dalam metode ini berupa unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Dalam penelitian ini unsur yang dianalisis adalah unsur intrinsik, yaitu penokohan dalam cerpen Arinillah.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan psikologis, yang menurut Rene Wellek dan Austin Warren (1962:81-82) dikutip oleh Nyoman berkaitan dengan pengarang, proses kreatif, karya sastra dan pembaca. Pendekatan dalam peneltian ini bertujuan untuk mengetahui gejala psikolosis tokoh dalam cerpen Arinillah.
2. Langkah-langkah Penelitian
2.1. Sumber Data
Sumber data dalam peneltian ini adalah cerpen Arinillah karya Taufik Hakim dan beberapa sumber yang menunjang dalam penelitian ini.
2.2. Jenis Data
Terdapat dua jenis data dalam penelitian ini, pertama, data primer yang diambil dari cerpen Arinillah karya Taufik Hakim. Kedua, data sekunder, yaitu data yang relevan dengan masalah yang dikaji dalam penelitian ini baik berupa teori atau gagasan lainnya.
2.3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan membaca cerpen Arinillah, kemudian menelusuri sumber data yang berhubungan dengan penelitian ini, yaitu tokoh dan penokohan dalam cerpen tersebut.
2.4. Analisis Data
Setelah data didapatkan, data dianalisis dengan menggunakan metode strukturla, analisis isi dan metode deskriptif. Kemudian menjelaskan gejala psikologi tokoh dalam cerpen Arinillah.
2.5. Merumuskan kesimpulan
Kesimpulan digunakan untuk menjawab permasalah yang terdapat dalam rumusan masalah dengan memaparkan psikolgi tokoh dalam cerpen tersebut.
PEMBAHASAN
Sejarah Sastra Arab
Kesusastran Arab pada zaman jahiliah terpusat di Arabia Utara. Kemudian, lebih khusus lagi di Madinah, Mekah, Taif dan Nejd. Setelah berdirinya Bani Umayah, kesusasteraan Arab berpindah ke Syiria, Irak dan daerah yang dikuasai Islam pada pertengahan pertama abad 8 H. pada Zaman Bani Abasiah, selain terpusat di Baghdad, sebagai pusat pemerintahan, juga kesusasteraan berkembang di Andalusia, seperti yang terdapat dalam Dar al-Masyriq.Dengan runtuhnya Bani Abbasiah tahun 1258, akibat diserang oleh Hulagu (Mongol), kesusasteraan Arab mengalami kemunduran (ashr al-Inhitat, The age of Depresion). Keadaan seperti ini, berlangsung sampai tahun 1516/1517 hinggaTurki Otonam mulai memperluas kekuasaan ke hampir semua negara Arab. Akan tetapi, pada masa ini pun tak jelas pusat pemerintahnnya. Barulah setelah Napoleon Bonaparte mendarat di Mesir, yaitu tahun 1798, bangsa Arab mulai mengalami kebangkitan, khususnya dalam bidang kesastraan.
Pada limapuluh tahun pertama abad ke 19, kesusastraan, selain bangkit di Mesir, juga di Syiria-Libanon dan Irak. Ketiga negara tersebut mendominasi perkembangan kesusastraan Arab sampai akhir abad 19 dan awal abad 20, dengan genre sastra yang lebih bervariatif. Pada sekitar tahun 1920-1970-an, kesusastraan Arab mulai berkembang di negara-negara lainnya seperti Palestina, Yordania, Sudan, Libya, Tunisia, Al-Jazair, Maroko bahkan sampai ke Amerika.
Zaman Jahiliah
Periode ini dimulai dari satu setengah abad sebelum islam sampai munculnya islam. Pada masa ini, puisi memiliki kedudukan tinggi dan berpengaruh, sehingga setiap suku akan merasa bangga jika lahir seorang penyair dalam sukunya. Puisi-puisi Arab lahir d Nejd, Hejaz, dan Bahrain. Puisi-puisi Arab yang paling terkenal pada zaman Jahiliah adalah puisi al-Mualla’qat, yaitu puisi-puisi yang digantungkan di dinding Ka’bah. Puisi Al-Muallaqat berbentuk qasidah panjang.
Adapun tema-tema kesastraan pada Zaman ini adalah:
- Al- Hamasah, tema yang mengagungkan-ngagungkan kepahlawanan dan keberanian seseorang yang ikut dalam peperangan. Di antara penyair Zaman ini yang kuat tema hamasah-nya adalah Amru bin Kultsum dan al-Absiy.
- Al- Fakhr, tema yang membangga-banggakan kelebihan yang dimiliki oleh penyair atau sukunya. Diantara penyair yang menulis tentang tema ini adalah Rabi’ah bin Maqrum.
- Al-Madah, yaitu tema puisi yang berisi puji-pujian kepada seseorang, terutama mengenai sifat-sifat baiknya. Seperti puisinya Zuhayr bin Abi Sulma.
- Ar-Ritsa, yaitu tema puisi yang mengungkapkan rasa putus asa, kesedihan dan kepedihan seseorang. Diantara puisi ritsa yang paling bagus adalah puisi Duraid bin al-Shamat.
- Al-Hija, yaitu tema puisi yang berisi tentang kebencian, kemarahan, atau ketidaksukaan penyair terhadap seseorang atau suku tertentu. Biasanya celaan dan cercaan itu mengandung unsur yang lucu, seperti satire.
- Al-Wasfu, tema puisi yang mendeskripsikan tentang keadaan alam yang ada di sekitar penyair. Seperti puisi-puisi karyanya Imru al-Qays dan Abu Daud al-Iyadiy.
- Al-Ghajal, yaitu tema puisi yang membicarakan tentang wanita, seperti puisinya al-Asyaa dan Imru al-Qais.
- Al-I’tidzar, yaitu tema puisi yang menyatakan permintaan maaf, seperti puisinya Naghibah adz-Dzibyani.
Zaman Permulaan Islam
Periode ini dimulai dari datangnya islam sampai berakhirnya masa khalafaur rasyidin. Pada masa ini hanya dua jenis prosa yang populer, yaitu khutbah dan kitabat rasail. Perkembangan Khutbah pada zaman ini sama seperti puisi pada Zaman Jahiliah, menduduki posisi paling tinggi. Karena khutbah pada saat itu sangat penting untuk melakukan dakwah islam dan jihad. Sementara itu, rasaail (korespondensi) –yang pada zaman Jahiliyyah sedikit, setelah datangnya Islam, mulai semakin meningkat kedudukannya. Yang di tulis dalam korespondensi itu antara lain tentang dakwah Islam, aturan-aturan hukum dan politik, perjanjian perdamaian, dan pesan-pesan untuk penguasa.
Tema puisi yang muncul pada zaman permulaan islam adalah tema dakwah islam. Sementara itu, tema-tema puisi Zaman Jahiliyyah seperti al-washf, al-ghazal, Ritsa, al-madah, dan al-hija masih ditulis namun lebih syar’i. Diantara penyair-penyair Zaman ini adalah Hassan bin Tsabit, Kaab bin Zuhayr, dan Hutai’ah.
Zaman Bani Umayah
Periode ini dimulai dari berdirinya Bani Umayah hingga akhir kedaulatannya Bani Umayah. Pada Zaman ini, tema-tema puisi pada zaman sebelumnya masih berkembang. Tapi ada juga yang mengalami perubahan seperti tema Al-Ghazal. Pada zaman ini, tema ghazal terbagi dua: Pertama, ghazal ‘udzri, yaitu ghazal yang menggambarkan perasaan seseorang terhadap kekasihnya. Seperti puisi-puisinya Kutsair bin Abdul Rahman al-Khazaniy, Jamil bin Abdullah bin Mu’Ammar al-Udzri, Qays bin al-Mulawwih bin Mazahimi al-‘Amiriy – yang terkenal dengan Layla wa Majnun. Kedua, ghazal maksuf, yaitu ghazal yang menggambarkan tubuh wanita serta keindahan-keindahannya. Seperti puisinya Abdullah bin Abi Rabiah al-Makhzumi, Abdullah bin Umar bin Amru bin Affan . selain itu, muncul pula tema-tema baru. Diantaranya:
- Al-Siyassat, yaitu tema yang memuji-muji atau mencela penguasa atau partai politik lain. Tema ini dijadikan sebagai sarana komunikasi di antara para partai politik.
- An-Naqa’’idh, yaitu tema yang mengorbankan permusuhan di antara para penyair. Aspek yang dipolemikkan biasanya tentang politik atau tentang kehidupan mewah para khalifah dan pemimpin. Para penyair yang terkenal dalam tema ini adalah Ghayyat bin Ghauts at-Taghlibiy ( Akhtal), Jarrir bin Athayyah at-Tamimiy, dan Hamman bin Ghalib bin Sha’sha’ah al-Tamimi (Parazdaq).
- Syi’ru al-futuuh wa ad-da’wat al-Islaam, tema puisi yang menggambarkan bagaimana Islam memperluas daerahnya, tentang keimanan para tentara muslim, atau tentang jihad.
- Rasail diwaniyyat, yaitu surat-surat dari pemerintah pusat yang disampaikan pada penguasa atau pimpinan daerah. Ciri-ciri genre ini biasanya dimuali dengan basmallah dan shalawat,, cenderung panjang dan rinci serta dipengaruhi oleh kebudayaan Persia. Ada dua orang yang terkenal dalam genre ini yaitu Salim Mawla Hisyam bin Abdul Malik dudn Abdul Hamid al-Katib.
- Rasail ikhwaniyat, yaitu surat-surat yang berisi ucapan suka cita, duka cita, teguran atau pengarahan yang ditulis oleh penulis kepada penulis lainnya.
- Tawqiat, yaitu kata-kata ringkas berupa pendapat yang ditulis oleh khalifah atau penguasa atas permintaan rakyatnya untuk menjelaskan masalah.
Zaman Bani Abbasyiah
Para penyair zaman ini terkenal dengan keindahan makna. Banyaknya ilmu dari Yunani, India, dan sastra dari Persia yang diterjemahkan oleh orang-orang Abassiayyah, mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam kesastraan. Tema-tema puisi pada zaman ini sama dengan pada zaman sebelumnya, tapi ada juga tema yang baru seperti zuhdiyat, khamriyat, thardiyat, kisah-kisah beradab, deskripsi tentang makanan dan lain-lain.
Tema Fakhr yang pada Zaman Jahiliyyah dipergunakan untuk membanggakan suku, pada zaman ini fakhr digunakan oleh penyair untuk memanggakan diri, kehidupan dan perasaan sendiri. Dari situ muncullah tema zuhdiyyat, seperti yang ditulis oleh Abu al-Atahiyah dan puisi tasauf Ibn Faridh. Selain itu, ada juga puisi yang berisikan filsapat yang sering di sebut syi’rufal-istiqrariy seperti puisinya Abu Tamam, Al-Mutanabbi, dan Abu A’la al-Ma’ary. Muncul juga betuk puisi yang disebut Syi’ru al-tajdidiy (puisi pembaruan), dengan tokohnya diantaranya Abu Nawas dan Abu al-Atahiyah.
Jenis prosa pada zaman ini beraneka ragam. Selain ada pidato dan kitabat (korespondensi), juga ada tawqi’at, al-Adab al-qishashi (sastra naratif, seperti cerita 1001 malam) dan maqamat (cerita pendek bersajak yang berisi kata-kata nasehat, kata-kata jenaka atau cerita-cerita ganjil) -yang sebenarnya sudah ada pada zaman sebelumnya namun kurang digemari, ada juga istilah lain dalam prosa yang disebut dengan an-natsru al-tajdidiy (prosa pembaruan) dengan tokohnya diantaranya Abdullah Ibn Muqaffa, natsru al-fanniyu (prosa lirik), dengan tokohnya diantaranya Abu Utsman Amru bin Bahrin al-Kinaani (al-Jahiz).
Zaman Kemunduran
Zaman ini dibagi dua priode, yaitu priode pemerintahan mamluk dan periode pemerintahan turki otoman. Para ahli sejarah sastra arab mengatakan bahwa pada periode mamluk, kesusastraan arab telah kehilangan vitalitasnya, terlebih lagi pada periode turki otoman berkuasa, kesusastraan arab mengalami kemandegan dan kehancuran secara total. Kesusastraan tidak hanya mundur dari segi kualitasnya tapi juga kuantitasnya. Pada zaman ini kesusastraan bersifat artifisial dan imitatif, dan kurang orsinil. Prosanya banyak berima, bertemakan pujian-pujian, bergaya retoris, unsur sentimentalnya berlebihan dan kadang-kadang puisinya berbentuk akrostikon.
Penyair-penyair terkenal zaman ini adalah al-Bushiri, al-Dimishqi, Abu—al-Fida, Ibn Majd dari Nejd.
Zaman Kebangkitan
Perkembangan novel pada zaman ini dibagi menjadi tiga tahap: Pertama, Novel yang masih dipengaruhi oleh al-maqamat, seperti novel Hadits Isa bin Hisyam karya Muhammad al-Muwalhi (1858-1930). Kedua, novel terjemahan yang sudah meninggalkan ciri maqamatnya, seperti novelnya Rifaat-Tahtawi, yang menerjemahkan novel Telemaque. Ketiga, novel asli yang ditulis oleh para novelis Arab, seperti Zainab, karya Muhammad Husain Haikal.
Seperti halnya novel, cerpen-cerpen pertama dalam kesusastraan Arab juga berupa terjemahan atau saduran dari kesusastraan Eropa. Pelopor cerpen pada masa ini adalah salim Butrus al-Bustani. Cerpenis-cerpenis lain selain Butrus adalah Jurji Jabrail Balit, Mustafa Luthfi al-Manfaluth (1876-1924) Jibran Khalil Jibran yang terkenal dengan kumpulan cerpennya al-arwah al-mutamarridah (jiwa-jiwa pemberontak).
Selain novel dan cerpen, terdapat juga drama yang muncul dalam kesusastraan Arab yang dipelopori oleh Marun Naqqas, lahir di Libanon tahun 1817. Ia menulis drama musikal pertama yang berjudul Abu Hassan Si Tolol.
Pada masa kebangkitan dan masa Modern, perkembangan puisi dapat dibedakan menjadi tiga aliran:
- Aliran al-muhafidzun, yaitu aliran yang masih memelihara kaidah puisi Arab secara kuat, misalnya keharusan menggunakan wazan dan qafiah, jumlah katanya yang banyak, tema-temanya masih mengikuti tema masa sebelumnya. Para penyair yang temasuk aliran ini adalah Mahmud Sami al-Barudi (183-1904), Ahmad Syawqi, Hafidz Ibrahim, dan Ma’ruf ar-Rusyadi.
- Aliran al-mujaddidun, yaitu aliran yang muncul karena adanya perubahan situasi politik, sosial dan pemikiran., adanya pengaruh aliran romantik dari penyair Barat. Termasuk dalam kategori ini adalah Khalil Matran, Abbas al-Aqqad.
- Aliran al-mughaaliinu, yaitu aliran yang mengikuti aliran sastra yang ada di Eropa setelah perang dunia ke satu. Ciri –ciri dari aliran ini adalah tidak Vokal, tapi menggunakan cara yang pelan-pelan.
Zaman Modern
Terjadinya pembaruan di bidang prosa pada masa ini disebabkan oleh munculnya para reformis dan pemikir, seperti Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1792) di Saudi Arabia, Jamaluddin al-Afgani (1838-1897) dan Muhammad Abduh (1839-1905) di Mesir, serta Kawakibi (1849-1902) di Syiria, munculnya sarana-sarana kebudayan, terutama penerbitan dan persuratkabaran. Ciri prosa masa ini adalah lebih memperhatikan unsur pemikiran dari pada unsur gayanya, tidak banyak menggunakan kata-kata retoris seperti saja’, tibaq, seperti pada masa-masa sebelumnya.
Pada masa ini, qasidah (ode) yang monoritme masih terus ditulis, tetapi lebih sedikit dibandingkan masa-masa sebelumnya. Puisi bebas menjadi lebih populer, dengan panjang yang lebih bervariasi dan rima yang tidak mengalami pola tertentu. Larik-lariknya pun semakin lebih pendek. Dari segi temanya, penyair masa ini ada yang masih menggunakan teme-tema puisi lama, seperti wasf, fakhr, madah, naqa’id, ritsa, dan ghazal. Selain itu juga ada yang memunculkan tema-tema baru, seperti patriotik, kemasyarakatan, kejiwaan, dan puisi drama (drama puisi yang dibuat secara puitis).
Sastrawan yang terkenal pada masa ini adalah Taha Husein. Ia dikenal sebagai tokoh modernis pada tahun 1920-an sehingga pada tahun 1930-an ia dijuluki “Bapak Kesusastraan Arab” dengan disertasinya tentang penyair buta. Tawfik Hakim juga diangap sebagai penulis Arab terbesar pada masa ini. Ia seorang novelis, cerpenis dan penulis esai yang sukses. Kontribusinya yang paling terkenal adalah dalam bidang drama. Selain itu, Mahmud Taymur yang terkenal dengan al-Hajj Shalabi, sebuah kumpulan cerpen dikenal sebagai cerpenis ternama kekinian.
Psikoanalisa Sastra
Pengertian Psikoanalisis
Psikoanalisis dalam sastra memiliki empat kemungkinan pengertian. Yang pertama adalah studi psikologi pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi. Yang kedua adalah studi proses kreatif. Yang ketiga adalah studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra.Yang keempat adalah mempelajari dampak sastra pada pembaca. Namun, yang digunakan dalam psikoanalisis adalah yang ketiga karena sangat berkaitan dalam bidang sastra.
Asal usul dan penciptaan karya sastra dijadikan pegangan dalam penilaian karya sastra itu sendiri. Jadi psikoanalisis adalah studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra.
Sejarah Teori Psikoanalisa Sastra
Munculnya pendekatan psikologi dalam sastra disebabkan oleh meluasnya perkenalan sarjana-sarjana sastra dengan ajaran-ajaran Freud yang mulai diterbitkan dalam bahasa Inggris. Yaitu Tafsiran Mimpi ( The Interpretation of Dreams ) dan Three Contributions to A Theory of Sex atau Tiga Sumbangan Pikiran ke Arah Teori Seks dalam dekade menjelang perang dunia. Pembahasan sastra dilakukan sebagai eksperimen tekhnik simbolisme mimpi, pengungkapan aliran kesadaran jiwa, dan pengertian libido ala Freud menjadi semacam sumber dukungan terhadap pemberontakan sosial melawan Puritanisme(kerohanian ketat) dan tata cara Viktorianoisme(pergaulan kaku). Dahulu kejeniusan sastrawan selalu menjadi bahan pergunjingan. Sejak zaman Yunani, kejeniusan dianggap kegilaan(madness) dari tingkat neurotik sampai psikosis. Penyair dianggap orang yang kesurupan (possessed). Ia berbeda dengan yang lainnya, dan dunia bawah sadarnya yang disampaikan melalui karyanya dianggap berada di bawah tingkat rasional. Namun, pengarang tidak sekedar mencatat gangguan emosinya ia juga mengolah suatu pola arketipnya, seperti Dostoyevsky dalam karyanya The Brother Kamarazov atau suatu pola kepribadian neurotik yang sudah menyebar pada zaman itu. Kemudian, ilmu tentang emosi dan jiwa itu berkembang dalam penilaian karya sastra.(Psikoanalisis Sastra)
Kegunaan Psikoanalisa Sastra
Psikologi atau psikoanalisis dapat mengklasifikasikan pengarang berdasar tipe psikologi dan tipe fisiologisnya. Psikoanalasisis dapat pula menguraikan kelainan jiwa bahkan alam bawah sadarnya. Bukti-bukti itu diambil dari dokumen di luar karya sastra atau dari karya sastra itu sendiri. Untuk menginteprestasikan karya sastra sebagai bukti psikologis, psikolog perlu mencocokannya dengan dokumen-dokumen di luar karya sastra.
Psikoanalisis dapat digunakan untuk menilai karya sastra karena psikologi dapat menjelaskan proses kreatif. Misalnya, kebiasaan pengarang merevisi dan menulis kembali karyanya. Yang lebih bermanfaat dalam psikoanalisis adalah studi mengenai perbaikan naskah, koreksi, dan seterusnya. Hal itu, berguna karena jika dipakai dengan tepat dapat membantu kita melihat keretakan ( fissure ), ketidakteraturan, perubahan, dan distorsi yang sangat penting dalam suatu karya sastra.Psikoanalisis dalam karya sastra berguna untuk menganalisis secara psikologis tokoh-tokoh dalam drama dan novel. Terkadang pengarang secara tidak sadar maupun secara sadar dapat memasukan teori psikologi yang dianutnya. Psikoanalisis juga dapat menganalisis jiwa pengarang lewat karya sastranya.
Asumsi dasar psikologi sastra antara lain dipengaruhi oleh berbagai hal. Pertama, adanya anggapan bahwa karya sastra adalah produk dari suatu kejiwaan dan pemikiran pengarang yang berada pada situasi setengah sadar (subconscious) setelah jelas baru dituangkan dalam bentuk secara sadar (conscious). Antara sadar dan tidak sadar selalu mewarnai proses imajinasi pengarang. Kekuatan karya sastra dapat dilihat seberapa jauh pengarang mampu mengungkapkan ekspresi kejiwaan yang tak sadar itu ke dalam sebuah cipta sastra.
Kedua, kajian psikologi sastra di samping meneliti perwatakan tokoh secara psikologis juga aspek-aspek pemikiran dan perasaan pengarang ketika pengarang menciptakan karya tersebut. Seberapa jauh pengarang mampu menggambarkan perwatakan tokoh sehingga karya tersebut menjadi lebih hidup. Sentuhan-sentuhan emosi melalui dialog atau pun pemilihan kata, sebenarnya merupakan gambaran kekalutan dan kejernihan batin pencipta. Kejujuran batin itulah yang akan menyebabkan orisinalitas karya.
Psikologi dalam sastra lebih menitikberatkan karya sebagai aktivitas kejiwaan. Pengarang akan menggunakan cipta, rasa, dan karsa dalam berkarya. Begitu pula pembaca, dalam menanggapi karya juga tidak akan lepas dari kejiwaan masing-masing. Bahkan dalam psikologi sastra, karya dianggap sebagai refleksi kejiwaan.
Karya sastra yang dipandang sebagai fenomena psikologis, akan menampilkan aspek-aspek kejiwasan melalui tokoh-tokoh jika kebetulan teks berupa drama atau prosa. Sedangkan jika berupa puisi, tentu akan terampil melalui larik-larik pilihan kata yang khas. Karya sastra dan psikologis memiliki keterkaitan secara erat baik secara tidak langsung maupun fungsional. Pertautan tidak langsung, karena kedua-duanya memiliki objek kajian yang sama yaitu kehidupan manusia. Adapun hubungan fungsional lebih ditekankan pada kesamaan untuk mempelajari gejala kejiwaan orang lain, bedanya dalam psikologi bersifat riil, sedangkan dalam sastra lebih bersifat imajinatif.
Teori yang masih digunakan dalam kajian psikologi adalah psikoanalisis yang ditemukan oleh Sigmund Freud. Teori ini menjelaskan bahwa manusia sering berada dalam kondisi tidak sadar. Adapun kondisi sadar sangat sedikit ditemukan dalam kondisi mental manusia. Teori ini menarik untuk dikaji, bukan hanya karena memiliki hubungan yang erat dengan sastra, akan tetapi juga dikarenakan eksistensi teori ini sampai sekarang.
Hubungan Sastra dengan Psikoanalisis
Telah diungkapkan di atas bahwa manusia sering dalam kondisi tak sadar (alam bawah sadar) daripada kondisi sadar. Ketidak sadaran ini akan menyublim ke dalam proses kreatifitas pengarang. Dalam proses penciptaan tokoh misalnya, pengarang sering menggunakan daya imajinasinya seolah-olah sedang berhadapan dengan realitas. Semakin jauh lagi, sering pengarang merasakan larut pada cerita-cerita fiktif yang ia buat sendiri.
Dalam kajian psikologi sastra, kepribadian manusia yang dianalisis melalui teori psikoalalisis dibagi menjadi tiga yaitu, id, ego, dan super ego. Ketiga sistem ini saling berkaitan erat sehingga merupakan suatu totalitas. Perilaku manusia sering diinterpretasikan sebagai refleksi dari produk ketiga unsur di atas.
Id (das es) adalah sistem kepribadian manusia yang paling dasar. Id merupakan acuan penting yang digunakan untuk memahami sastrawan/ seniman dalam proses penciptaan karya sastra. Melalui id pula, sastrawan bisa menciptakan simbol-simbol tertentu dalam karyanya. Jadi, unsur psikologis dalam karya sastra lebih memperhatikan interpretasi psikologis yang sebelumnya telah menerima perkembangan watak untuk kepentingan struktur plot. Sering pula id disebut sebagaiu kepribadian yang gelap dalam bawah sadar manusia yang berisi insting dan nafsu-nafsu yang tidak mengenal nilai dan lebih bersifat liar.
Dalam perkembangannya, manusia juga memiliki ego (das ich) yang lebih memandang realita dalam kehidupan. Ego adalah sistem kepribadian yang bertindak sebagai pengaruh individu kepada dunia objek dari kenyataan, dan menjalankan fungsinya berdasarkan prinsip kenyataan. Selain itu, ego juga bersifat implementatif, karena sering bersinggungan dengan dunia luar.
Super ego (das ueber ich) berkembang dan berfungsi sebagai pengontrol dorongan-dorongan yang dikembangkan id. Super ego adalah sistem kepribadian yang berisi nilai-nilai atau aturan yang bersifat evaluatif (mempertimbangkan aspek baik, buruk).
Milner dalam Endraswara (2003: 101-102) menyatakan bahwa hubungan antara sastra dan psikologis dibagi menjadi dua. Pertama, adanya kesamaan antara hasrat-hasrat yang tersembunyi pada setiap manusia yang menyebabkan kehadiran karya sastra yang mampu menyentuh perasaan pembaca. Hal ini dikarenakan karya sastra mampu menyentuh dan memberikan solusi terhadap hasrat-hasrat rahasia tersebut. Kedua, adanya kesejajaran antara mimpi dan sastra dalam hal elaborasi sastra dengan elaborasi mimpi. Freud menyebut ini sebagai "pekerjaan mimpi" dikarenakan anggapan bahwa mimpi tidak ubahnya sebuah tulisan (bersifat arbitrer), keadaan orang yang bermimpi mirip dengan sastrawan yang menyembunyikan pikiran-pikirannya.
Proses kreativitas penulis dalam mencipta suatu karya sangat dipengaruhi oleh sistem sensor intern yang mendorongnya untuk menyembunyikan atau memutarbalikkan hal-hal penting yang ingin disampaikan. Selain itu, pengarang juga bisa mengatakan dalam bentuk langsung atau ubahan. Jadi karya sastra adalah ungkapan jiwa pengarang yang menggambarkan emosi dan pemikirannya. Karya sastra lahir dari endapan pengalaman yang telah dimasak dalam diri pengarang.
Tokoh-Tokoh Psikoanalisa Sastra
- Sigmund Freud, seorang yang sangat berbudaya dan beliau mendapatkan dasar pendidikan Austria yang menghargai karya Yunani dan Jerman Klasik.
- T.S Elliot
- Carl.G.Jung.
- Ribot, psikolog Perancis
- L.Russu
- Wordsworth yang menggunakan psikologi sebagai uraian genetik tentang puisi.
- Tatengkeng, Pujangga Baru. Menyatakan bahwa untuk menulis puisi yang baik penyair harus dalam keadaan jiwa tertentu pula.
Analisis Tokoh dalam Cerpen Arinillah
Tokoh dan Penokohan
Tokoh (character) dalam leksikon sastra berarti orang rekaan yang berperan dalam sebuah cerita atau drama, sedangkan penokohan adalah citra tokoh dalam suatu karangan yang tergambarkan dari watak yang dilukiskan pengarang kepadanya melalui tindakan, perkataan, gagasan, keadaan fisiknya, atau apa yang ia renungkan tentang dirinya sendiri.[9] Tokoh disebut juga sebagai watak; tabi’at; pembawaan; kebiasaan. Penokohan disebut perwatakan yang bersifat khas.
Tokoh dan penokohan merupakan salah satu unsur-unsur intrinsik karya sastra. Istilah tokoh menunjuk pada ‘siapa’ yang ada dalam karya sastra. Dalam literatur bahasa Inggris, istilah tokoh menunjuk pada dua pengertian yang berbeda, yaitu tokoh-tokoh yang ditampilkan, dan sebagai sikap, ketertarikan, keinginan, emosi, dan prinsip moral yang dimiliki tokoh tersebut (Stanton, 1965; 17 sebagaiman dikutip Nurgiantoro, 2005: 165). Penokohan lebih luas maknanya dari pada tokoh, penokohan menyaran pada teknik perwujudan dan pembangunan tokoh dalam sebuah cerita.
Penokohan dan Unsur Cerita yang lain
Karya fiksi adalah keutuhan artistik, dimana setiap unsurnya saling membangun. Antara unsur tokoh dengan tema, plot, dan sebagainya memiliki koherensi yang sangat kuat dan tidak bisa dilepaskan satu sama lain.
Dalam kehidupan nyata, tokoh yang berperan adalah manusia sebenarnya yang menjalani kehidupannya masing-masing. Tingkah laku, peristiwa, sikap, dan pikiran manusia telah ditentukan oleh Sang Pencipta. Manusia dalam ralitas tidak tahu apa yang akan terjadi pada masa yang akan datang meskipun sebelumnya telah direncanakan secara matang. Kehidupan manusia tidak dapat ditebak, berliku, lurus, terhambat, mulus, atau sebagainya seolah seperti jalan hidup manusia. Rencana hidup dituliskan dalam takdir Yang Maha Kuasa. Inilah perbedaan antara kehidupan nyata dan ‘kehidupan fiktif’. Kehidupan nayata tidak memiliki plot yang diketahui dengan jelas, sedangkan dalam karya fiksi memiliki plot jelas yang ditentukan oleh pengarang sekehendaknya.
Tokoh sebagai ‘pelaku’ dalam karya membawa pikiran pembaca untuk mengetahui alur cerita karena tokoh fiksi tidak mungkin keluar dari jalur plot yang telah ditentukan. Peristiwa-peristiwa yang dialami oleh tokoh dan bagimana cara mengatasi masalah dalam peristiwa tersebut adalah kerjasama yang erat antara plot dan tokoh atau penokohan. Terkadang pembaca mengharapkan tokoh fiksi sesuai dengan pikirannya yang dipengaruhi oleh kehidupan nyata. Sebagai contoh, tokoh yang sombong, kikir, korupsi seharusnya berujung dengan kematian atau penderitaan yang panjang. Tokoh yang baik, dermawan, murah hati, ramah, sopan, suka, rajin beribadah seharunya berujung dengan kebahagiaan.
Tokoh yang diangkat dan dianalisis dalam penelitian ini adalah tokoh seorang anak dalam cerpen Arinillah karya Taufiq Hakim. Sebagai gambaran, berikut ini adalah sebagian cerita yang melukiskan tokoh anak tersebut.
Pada zaman dahulu , ada seorang lelaki yang shalih dan bersih hati. Ia diberikan seorang anak yang cerdas oleh Allah swt, anak itu fasih berbicara karena kecerdasannya.
Pada suatu hari, ayah dan anak itu duduk bersama dan berbincang seperti dua orang sahabat, padahal antara ayah dan anak itu memiliki perbedaan umur yang cukup jauh. Ia memandangi anaknya lalu berkata:
“Aku bersyukur pada Allah!, engkau adalah nikmat yang Allah berikan padaku!”
Kemudian anak itu berkata:
“Wahai ayah, engkau sering memperbincangkan tentang Allah, perlihatkanlah Dia kepadaku!”
“Apa yang kamu ucapkan, Anakku?” ia menunduk dan kebingungan mendengar perkataan anaknya. Lalu ia berkata pada anaknya seolah seperti bicara pada dirinya sendiri.
“Engkau ingin agar aku memperlihatkan Allah padamu?”
“Ya, Perlihatkanlah Allah padaku!”
“Bagaimana aku bisa memperlihatkan yang aku pun belum pernah melihatNya!”
“Lalu, kenapa engkau tidak bisa melihatNya?”
“Karena aku tidak pernah memikirkan hal itu sebelumnya.”
“Kalau begitu, sekarang Ayah pergi mencariNya kemudian perlihatkanlah Allah padaku!”
“Baiklah, aku akan melakukannya. Aku akan melakukannya, Anakku!”
Dari potongan cerita di atas, diketahui bahwa anak itu memiliki kecerdasan yang luar biasa sehingga ia ingin melihat Allah. Dalam buku Psikologi Perkembangan dijelaskan bahwa seorang anak memiliki kemampuan berfikir dan melihat hubungan-hubungan dengan segala sesuatu yang ada disekitarnya. Kemampuan untuk bertanya tentang segala sesuatu yang tidak dipahaminya akan muncul. Kemampuan ini disebabkan karena rangsangan yang sering diterimanya, dalam tokoh ini, rangsangan seorang ayah sering menyebutkan nama Allah menjadi pendorong keberaniannya untuk bertanya dan ingin mengetahui tentang Allah.
Awalnya seorang anak tidak akan memperhatikan hal-hal kecil seperti yang sering dilakukan oleh tokoh ayah dalam cerpen tersebut. Konsep Tuhan bagi anak-anak adalah seseorang yang sama seperti manusia. Inilah yang menjadi pendorong lain bagaiman tokoh anak itu ingin melihat Allah.
Seorang anak akan berbicara sekehendaknya saja, tak pernah memikirkan bagaimana perkataannya itu dimengerti dan menjadi pemikiran orang lain. Dengan polos (bagi anak-anak biasa) tokoh anak dalam karya sastra tersebut berkata: Perlihatkanlah Allah kepadaku!.
Setelah itu pun ia bertanya mengapa ayahnya tidak pernah melihat Allah, ini merupakan kecerdasan yang luar biasa bagi seorang anak. Faktor genetis bisa saja menjadi pengaruhnya. Keberaniannya bertanya bukti kecerdasan dan keingintahuannya.
Bahkan dengan ringan tokoh anak itu menyuruh ayahnya mencari Allah supaya bisa diperlihatkan kepadanya. Dari semua ucapan anak itu, dijelasakan dengan menggunakan konsep psikologi bahwa pembicaraan seorang anak bisa menimbulkan bahaya. Dalam hal ini, bahaya tersebut bersifat positif karena mempertanyakan Tuhan.
Dalam percakapan lain dalam cerpen ini yaitu ketika sang ayah tak mampu memperlihatkan Allah kepada anaknya. Dengan petunjuk dari seorang ulama, ia mengasingkan diri dan bersujud untuk mendapatkan cinta dari Allah sehingga ia bisa melihatNya.
Lelaki itu tak bergerak sama sekali ketika keluarga beserta anaknya datang dan memintanya untuk pulang. Lalu anak itu berkata:
“Ayah, apakah engkau tidak mengenaliku?”
Namun ketika anaknya berteriak, ia tidak bergerak sedikitpun. Kemudian seorang ulama itu berkata kepada keluarganya bahwasanya meskipun lelaki itu dibunuh, maka ia tidak akan merasakannya karena telah mendapatkan setengah biji dzurrah dari cinta Allah.
Anak itu berkata:
“Ini adalah dosaku yang memintanya agar memperlihatkan Allah kepadaku!”
Jika diperhatikan perkataan di atas, serasa tak mungkin jika seorang anak bisasa yang masih belum baligh tahu tentang dosa. Namun, sang pengarang, yaitu Taufiq Hakim, dengan kecerdasan dan kretivitasnya lebih dulu menjelaskan bahwa tokoh anak dalam cerpennya memiliki kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual yang luar biasa.
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pendekatan psikoanalisa sastra khusunya terhadap tokoh dalam karya sastra memiliki kedudukan yang penting dalam meneliti dan mengkaji sebuah karya sastra. Karena dalam sebuah karya sastra terkandung proyeksi psikologis sang penulis dari hasil olahan pengamatannya terhadap psikologi manusia disekitarnya yang ditampilkan lewat tokoh-tokoh dalam karya sastranya. Tak terlepas dari teori bahwa kajian psikologi sastra atau psikoanalisa sastra juga menganalisa bagaimana keadaan pengarang ketika membuat karya sastra.
Saran
Penelitian ini dilakukan dengan bermacam-macam latar belakang. Penelitian dengan pendekatan anlisis psikologi baru dilakukan oleh penulis setelah sebelumnya pernah dilakukan penelitian dengan pendekatan struktural dan analisis isi, yaitu tema di dalam cerpen Arinillah. Oleh karena itu beberapa saran yang ingin disampaikan adalah agar karya sastra – khususnya karya sastra ini – diteliti dengan segala aspek pendekatan sehingga dapat diketahui secara jelas nilai karya sastra tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
A. Teeuw. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra Pengantar Teori Sastra. Pustaka Jaya: Jakarta.
Ahmad Husain. Tarikh Adab Al Araby. Daar Nahdhah. Mesir.
Aminuddin. (editor). 1990. Sekitar Masalah Sastra; Beberapa Prinsip dan Model Pengembangannya. Yayasan Asih Asah Asuh: Malang.
Andre Hardjana. 1981. Kritik Sastra Sebuah Pengantar. Gramedia: Jakarta.
Andre Hardjana. 1981. Kritik Sastra Sebuah Pengantar. Gramedia: Jakarta.
Burhan Nurgiantoro. 2005. Teori Pengkajian Fiksi. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta.
Budi Darma. 2004. Pengantar Teori Sastra Feminis.Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional: Jakarta.
Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian sastra: Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.
Elizabeth B. Hurlock. 1980. Psikologi Perkembangan (terjemahan). Penerbit Erlangga: Jakarta.
Jalaludidin Rakhmat. 2007. Psikologi Komunikasi. Remaja Rosdakarya: Bandung.
Mahsun, M.S. 2005. Metode Penelitian Bahasa; Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya. Raja Grafindo Persada: Jakarta.
Nyoman Kutha Ratna. 2007. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra; dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme Perspektif Wacana Naratif. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Rachmat Djoko Pradopo dkk. 2001. Metodologi Penelitian Sastra. PT Hanindita Graha Widya: Yogyakarta.
Rokhman, Arif. Dkk. 2003. Sastra Interdisipliner: Menyandingkan sastra dan Disiplin Ilmu Sosial. Yogyakarta: CV Qalam.
Suhendra Yusuf. 1995. Leksikon Sastra. Mandar Maju: Bandung.
Sutiasumarga, M. 2001. Kesusastraan Arab Asal Mula dan Perkembangannya. Jakarta: Zikrul Hakim.
Taufiq Hakim, Arinillah. Daar Mishra.
Wellek dan Austin Warren.1995. Teori Kesusastraan. Terj. Melani
Footnotes:
[1] Burhan Nurgiantoro hlm. 3
[2] Ibid. hlm. 23
[3] Nyoman, hlm. 343
[4] Nyoman, hlm. 343
[5] Ibid, hlm. 350
[6] Burhan Nurgiantoro, hlm. 37
[7] Ibid, hlm. 167
[8] Nyoman Kutha, hlm. 50
[9] Suhendra Yusuf, Leksikon Sastra, hlm. 216-217.
Budi Darma. 2004. Pengantar Teori Sastra Feminis.Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional: Jakarta.
Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian sastra: Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.
Elizabeth B. Hurlock. 1980. Psikologi Perkembangan (terjemahan). Penerbit Erlangga: Jakarta.
Jalaludidin Rakhmat. 2007. Psikologi Komunikasi. Remaja Rosdakarya: Bandung.
Mahsun, M.S. 2005. Metode Penelitian Bahasa; Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya. Raja Grafindo Persada: Jakarta.
Nyoman Kutha Ratna. 2007. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra; dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme Perspektif Wacana Naratif. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Rachmat Djoko Pradopo dkk. 2001. Metodologi Penelitian Sastra. PT Hanindita Graha Widya: Yogyakarta.
Rokhman, Arif. Dkk. 2003. Sastra Interdisipliner: Menyandingkan sastra dan Disiplin Ilmu Sosial. Yogyakarta: CV Qalam.
Suhendra Yusuf. 1995. Leksikon Sastra. Mandar Maju: Bandung.
Sutiasumarga, M. 2001. Kesusastraan Arab Asal Mula dan Perkembangannya. Jakarta: Zikrul Hakim.
Taufiq Hakim, Arinillah. Daar Mishra.
Wellek dan Austin Warren.1995. Teori Kesusastraan. Terj. Melani
Footnotes:
[1] Burhan Nurgiantoro hlm. 3
[2] Ibid. hlm. 23
[3] Nyoman, hlm. 343
[4] Nyoman, hlm. 343
[5] Ibid, hlm. 350
[6] Burhan Nurgiantoro, hlm. 37
[7] Ibid, hlm. 167
[8] Nyoman Kutha, hlm. 50
[9] Suhendra Yusuf, Leksikon Sastra, hlm. 216-217.
Post a Comment